Senin, 13 Juni 2011

TATA CARA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS ATAS PERMOHONANNYA SENDIRI


TATA CARA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS
ATAS PERMOHONANNYA SENDIRI

1.   Dasar Hukum :

1.1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
1.2 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU)

2.   Isu Hukum :

2.1 Bagaimanakah tata cara kepailitan perseroan terbatas (PT) atas permohonannya sendiri?

3.   Tinjauan Hukum :

3.1                Permohonan Pernyataan Pailit.

3.1.1    Kepailitan terhadap PT dapat terjadi karena permohonannya sendiri atau permohonan satu atau lebih kreditornya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUKPKPU:
Pasal 2
(1)   Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.
(2)   Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
(3)   Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
(4)   Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
(5)   Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiunm atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Meneteri Keuangan.

3.1.2    Permohonan sendiri agar PT tersebut dinyatakan pailit harus dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS dengan kuorum kehadiran adalah paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UUPT:

(1)   RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit,  perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(2)   Dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua.
(3)   RUPS kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
(4)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengenai kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS berlaku juga bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

3.1.3     Dalam rangka pembubaran PT, Likuidator wajib mengajukan permohonan pailit PT tersebut apabila utang PT lebih besar daripada kekayaan PT (Vide Pasal 149 UUPT).
3.1.4    Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di wilayah tempat kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar PT (Vide Pasal 3 ayat 5 UUKPKPU).
3.1.5    Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat (Vide Pasal 7 UUKPKPU).
3.1.6     Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 hari sejak tanggal permohonan didaftarkan. (vide Pasal 6 ayat 6 dan 7 UUKPKPU).
3.1.7     Pengadilan dapat memanggil Kreditor dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan, dalam hal permohonan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi (Vide Pasal 8 ayat 1b jo. ayat 2 UUKPKPU).

3.2                 Putusan Pailit.

3.2.1     Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enampuluh) hari sejak tanggal permohonan penyataan pailit didaftarkan, diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (Vide Pasal 8 ayat 4, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7 UUKPKPU).
3.2.2     Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas (Vide Pasal 15 UUKPKPU).
3.2.3     Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Vide Pasal 16 UUKPKPU)
3.2.4    Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapka oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit (Vide Pasal 15 ayat 4 UUKPKPU).
3.2.5    Kreditor dapat mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pernyataan pailit paling lambat 8 hari sejak tanggal putusan putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan melalui Panitera Pengadilan Niaga yang memutus permohonan pernyataan pailit (Vide Pasal 11 UUKPKPU).
3.2.6    Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enampuluh) hari sejak tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung (Vide Pasal 13).
3.2.7    Kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian (vide Pasal 17 UUKPKPU).
3.2.8    Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tetap sah dan mengikat Debitor (Vide Pasal 16 ayat 2 UUKPKPU).
3.2.9    Dalam hal harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan maka Pengadilan atas usul Hakim Pengawas setelah mendengar Panitia Kreditor Sementara jika ada, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit (Vide Pasal 18).
3.2.10 Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Paniter Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian (Vide Pasal 19 UUKPKPU).

3.3      Akibat Kepailitan

3.3.1    Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan (Vide Pasal 21 UUKPKPU).
3.3.2    Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Vide Pasal 24 UUKPKPU).
3.3.3    Semua Perikatan Debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Vide Pasal 25 UUKPKPU).
3.3.4    Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator (Vide Pasal 26 UUKPKPU).
3.3.5    Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor (Vide Pasal 29 UUKPKPU).
3.3.6    Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor.

3.4      Pengurusan Harta Pailit

3.4.1    Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Vide Pasal 98 UUKPKPU).
3.4.2    Kurator dapat meminta penyegelan harta pailit kepada Pengadilan, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, melalui Hakim Pengawas (Vide Pasal 99 UUKPKPU).
3.4.3    Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat pengangkatannya sebagai Kurator dan diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma (Vide Pasal 100 UUKPKPU).

3.4.4    Rapat Kreditor
3.4.4.1       Hakim Pengawas menentukan hari, tanggal, waktu, dan tempat Rapat Kreditor Pertama, yang harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal putusan pailit diucapkan (Vide Pasal 86 UUKPKPU).
3.4.4.2       Dalam jangka waktu 5 (lima) hari setelah putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pegawas, Kurator wajib memberitahukan penyelenggaraan Rapat Kreditor pertama kepada Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir dan dengan iklan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian (Vide Pasal 86 ayat 3 UUKPKPU).
3.4.4.3       Kecuali ditentukan lain dalam UUKPKPU, segala keputusan Rapat Kreditur ditetapkan berdasarkan suara setuju sebesar ½ (satu per dua) jumlah suara yang dikeluarkan oleh Kreditor dan/atau kuasanya yang pada Rapat (Vide Pasal 87 UUKPKPU).

3.4.5    Pencocokan Piutang
3.4.5.1       Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan (Vide Pasal 113 UUKPKPU) :
3.4.5.1.1   Batas akhir pengajuan tagihan
3.4.5.1.2   Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
3.4.5.1.3   Hari, tanggal, waktu, dan tempat Rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang.
3.4.5.2       Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan pencocokan piutang wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian (Vide Pasal 114 UUKPKPU).
3.4.5.3       Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai hak istimewa, hak gadai, hak jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda (Vide Pasal 115 UUKPKPU).
3.4.5.4       Dalam pencocokan piutang, Kurator wajib (Pasal 116 UUKPKPU:
3.4.5.4.1   Mencocokan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor Pailit
3.4.5.4.2   Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima.
3.4.5.5       Kurator wajib memasukan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukan ke dalam daftar tersendiri (Vide Pasal 117 UUKPKPU).
3.4.5.6       Kurator wajib memberitahukan dengan surat tentang adanya daftar piutang kepada Kreditor yang dikenal, disertai dengan panggilan untuk menghadiri rapat pencocokan piutang (Vide Pasal 120 UUKPKPU).
3.4.5.7       Dalam rapat pencocokan piutang, Debitor Pailit harus hadir sendiri, agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit (Vide Pasal 121 UUKPKPU).
3.4.5.8       Pengakuan suatu piutang yang dicatat dalam berita acara rapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam kepailitan dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh Kurator, kecuali berdasarkan alasan adanya penipuan. Berita acara rapat ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera Pengganti (Vide Pasal 126 UUKPKPU).
3.4.5.9       Dalam hal ada bantahan sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan kedua pihak sekalipun perselisihan tersebut telah diajukan ke pengadilan, Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan (Vide Pasal 127 UUKPKPU).
3.4.5.10    Setelah berakhirnya pencocokan piutang Kurator wajib memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit dan selanjutnya kepada Kreditor wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh mereka (Vide Pasal 143 UUKPKPU).

3.5      Pemberesan Harta Pailit

3.5.1    Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi (Vide Pasal 178 UUKPKPU).
3.5.2    Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitor apabila (Vide Pasal 184 UUKPKPU):
3.5.2.1       Usul untuk mengurus perusahaan Debitor tidak diajukan atau usul tersebut telah diajukan namun ditolak;
3.5.2.2       Pengurusan terhadap perusahaan Debitor diberhentikan
3.5.3    Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (Vide Pasal 185 UUKPKPU).
3.5.4    Dalam hal penjualan di muka umum tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas (Vide Pasal 185 ayat (2) UUKPKPU).
3.5.5    Apabila Hakim Pengawas berpendapat terdapat cukup uang tunai, Kurator diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada Kreditor yang piutangnya telah dicocokkan (Vide Pasal 188 UUKPKPU).
3.5.6    Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas. Daftar pembagian tersebut membuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah Kurator, nama Kreditor, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang, dan bagian yang wajib diterimakan kepada Kreditor (Vide Pasal 189 UUKPKPU).
3.5.7    Daftar pembagian yang telah disetujui oleh Hakim Pengawas wajib disediakan di Kepaniteraan Pengadilan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar agar dapat dilihat oleh Kreditor selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas pada waktu daftar tersebut disetujui (Vide Pasal 192 UUKPKPU).
3.5.8    Selama tenggang waktu Kreditor dapat melawan daftar pembagian tersebut dengan mengajukan keberatan disertai alasan kepada Panitera Pengadilan, dengan menerima tanda bukti penerimaan (Vide Pasal 193 UUKPKPU).
3.5.9    Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang telah dijual sendiri oleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya (Vide Pasal 191 UUKPKPU).
3.5.10 Kurator bertanggung jawab kepada Hakim Pengawas atas pemberesan (likuidasi) PT yang dilakukannya (Vide Pasal 152 UUPT).
3.5.11 Kurator wajib memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM dan mengumumkan hasil akhir proses pemberesan dalam surat kabar paling lambat 30 hari setelah Hakim Pengawas memberikan pelunasan dan pembebasan kepada Kurator (Vide Pasal 152 ayat (4) UUPT).
3.5.12 Dengan diterimanya pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM tersebut maka status badan hukum yang dimiliki PT berakhir (Vide Pasal 152 ayat 5 UUPT).

Selasa, 24 Mei 2011

Dimar Zuliaskimsah Law Journal: PENDAPAT HUKUM TENTANG PENDUDUKAN TANAH OLEH PIHAK...

Dimar Zuliaskimsah Law Journal: PENDAPAT HUKUM TENTANG PENDUDUKAN TANAH OLEH PIHAK...: "I. SUMBER HUKUM 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab U..."

PENDAPAT HUKUM TENTANG PENDUDUKAN TANAH OLEH PIHAK YANG TIDAK BERHAK DAN KADALUARSA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH



I.     SUMBER HUKUM

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3.    Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
4.    Peraturan Pemerintah No.40 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah
5.    Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
6.    Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
7.    Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

II.   ISU HUKUM
Isu Hukum dalam pendapat hukum ini adalah :
1.    Bagaimanakah akibat hukumnya atas pemakaian tanah oleh pihak yang tidak berhak?
2.    Bagaimanakah daluwarsa perolehan hak atas tanah?

III.  ANALISA HUKUM

1.   Tentang Pemakaian Tanah Oleh Pihak Yang Tidak Berhak

Pihak yang berwenang dan berhak untuk mempergunakan tanah adalah setiap orang atau badan hukum yang diberikan hak atas tanah oleh Negara yang dibuktikan dengan Sertifikat atau surat/izin lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.

Setiap penggunaan tanah yang tidak didasarkan atas hak atas tanah adalah suatu tindakan yang melawan hukum.

Pemegang hak atas tanah dapat mengajukan gugatan untuk mempertahankan dan melindungi hak yang dipegangnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai dari hari penggugat kehilangan seluruh kedudukannya dan gugatan perbuatan melawan hukum apabila timbul kerugian atas hal tersebut.

Tindakan mempergunakan tanah tanpa hak merupakan tindak pidana pelanggaran sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria):
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan bendanya menimbulkan hak kebendaan. Hak atas tanah termasuk hak kebendaan sesuai dengan pasal 528 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak kebendaan memiliki sifat :
a.     Hak Kebendaan adalah hak mutlak/absolut.
b.    Hak Kebendaan diatur dalam Buku II KUH. Perdata.
c.    Hak kebendaan memberi kekuasaan
d.    Hak kebendaan bersifat droit de suite arti-nya mengikuti kemana benda itu berada.
e.    Hak kebendaan yang diperoleh terlebih dahulu, tingkatnya lebih tinggi dari yang terjadi kemudian.
f.      Hak kebendaan mempunyai hak yang didahulukan (droit de preference).
g.    Gugatan Hak Kebendaan disebut Gugat Kebendaan

Macam-macam hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah sebagai berikut:
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah :
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah :
a. hak guna-air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Pemegang Hak atas Tanah adalah pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegang izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah.
Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar bagi orang atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah.

Untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah, dilakukan pendaftaran tanah.

Kepastian pendaftaran tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang meliputi :
a.    kepastian hukum mengenai pemegang hak (subjek hak)
b.    kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas suatu bidang tanah hak (objek hak)
c.    kepastian hukum mengenai haknya.

Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria:
(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4)  Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian hak adalah Sertifikat Tanah, sebagaimana dimaksud Pasal 1 Peraturan Pemerintah No, 24 Tahun 1997:

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendataran Tanah, pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Jadi menurut ketentuan hukum yang berlaku setiap orang atau badan hukum yang mempergunakan tanah harus memegang hak atas tanah yang diberikan oleh Negara yang dibuktikan dengan Sertifikat. Setiap penggunaan tanah yang tidak didasarkan atas hak atas tanah adalah suatu tindakan yang melawan hukum. Maka berdasarkan Pasal 562 KUH Perdata mengatur bahwa :
Apabila seorang pemangku kedudukan berkuasa atas sebuah pekarangan atau bangunan, dengan tak menderita suatu kekerasan telah kehilangan kekuasaannya atas barang-barang tersebut, maka bolehlah ia terhadap para orang yang menguasainya memajukan gugatan, supaya dipilihkan atau dipertahankan dalam kedudukannya.
Dalam hal telah terjadinya sesuatu perampasan dengan kekerasan gugatan harus dimajukan, baik terhadap mereka yang melakukan kekerasan itu, maupun terhadap mereka yang memerintahkannya. Sekalian mereka adalah tanggung menanggung bertanggung jawab atas seluruhnya. Supaya gugatan itu dapat diterima, si penggugat diwajibkan membuktikan perbuatan merampas dengan kekerasan semata-mata.
Selain itu berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat digugat dimuka hakim pengadilan atas perbuatan melawan hukum yang menimbulkan adanya kerugian pemegang hak atas tanah.

Tindakan mempergunakan tanah tanpa hak dikenakan hukum pidana sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Bab VII Tentang Pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan pekarangan Pasal 548, 549, 550 dan 551 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  1. Daluarsa Perolehan Hak Atas Tanah

Definisi Daluwarsa menurut Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Berdasarkan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan termasuk hak atas benda tak bergerak (tanah).

Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dank arena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk menyerahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Berdasarkan Pasal 610 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Hak milik atas suatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa, apabila seseorang telah memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang ditentukan undang-undang dan menurut syarat-syarat beserta cara membedaka-bedakannya seperti termaktub dalam bab ke tujuh buku ke empat kitab ini.

Kedudukan berkuasa atas suatu kebendaan tersebut harus dilakukan secara terus menerus, tak terputus-putus, dan tak terganggu dimuka umum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa seorang menguasainya secara terus menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, di muka umum dan secara tegas, sebagai pemilik.

Atas Kebendaan tak bergerak jangka waktu daluarsanya adalah 20 (dua puluh) tahun apabila didasarkan alas hak yang sah atau 30 tahun apabila tidak ada alas hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun.

Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya.


Perolehan hak karena daluarsa tidak dapat terjadi apabila ada suatu peringatan, gugatan atau tuntutan hukum apapun oleh pihak yang berhak kepada pihak yang hendak memperoleh hak karena daluarsa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1978 sampai dengan Pasal 1983 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Daluwarsa tercegah apabila kenikmatan atas bendanya selama lebih dari satu tahun, direbut dari tangan si berkuasa, baik yang merebut itu pemilik lama, maupun yang merebut itu pihak ke tiga.

Daluwarsa itu tercegah pula oleh suatu peringatan, suatu gugatan, serta oleh tiap perbuatan yang berupa tuntutan hukum, satu dan lain diberitahukan oleh seorang pegawai yang berkuasa untuk itu atas nama pihak yang berhak kepada orang yang hendak dicegah memperolehnya dengen jalan daluarsa.

Juga penggugatan di muka Hakim yang tidak berkuasa, mencegah daluwarsa

Namun daluwarsa tidak tercegah apabila peringatan atau gugatannya ditarik kembali atau dinyatakan batal baik di penggugat menggugurkan tuntutannya, maupun tuntutan itu ditolak Hakim, maupun pula gugatan itu dinyatakan gugur karena lewatnya waktu.

Selain pencegahan perolehan hak karena daluwarsa sebagaimana dimaksud di atas, perbuatan-perbuatan yang berupa paksaan, perbuatan-perbuatan yang sewenang-wenang saja, atau perbuatan yang berupa pembiaran belaka, tidaklah dapat menerbitkan kedudukan berkuasa, yang cukup kuat untuk melahirkan daluwarsa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Untuk memperoleh hak atas tanah karena daluawarsa, pihak yang hendak memperoleh hak tersebut harus mengajukan permohonan hak kepada Kepala Kantor Pertanahan Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Pertanahan wilayah yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Keputusan pemberian hak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1999 kemudian harus didaftarkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

IV.         KESIMPULAN
1.    Setiap penggunaan tanah yang tidak didasarkan atas hak atas tanah adalah suatu tindakan yang melawan hukum.
Pihak yang berwenang dan berhak untuk mempergunakan tanah adalah setiap orang atau badan hukum yang diberikan hak atas tanah oleh Negara yang dibuktikan dengan Sertifikat atau surat/izin lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
Pemegang hak atas tanah dapat mengajukan gugatan kebendaan untuk mempertahankan dan melindungi hak yang dipegangnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai dari hari penggugat kehilangan seluruh kedudukannya dan gugatan perbuatan melawan hukum apabila timbul kerugian atas hal tersebut.
Tindakan mempergunakan tanah tanpa hak merupakan tindak pidana pelanggaran sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.    Seseorang dapat memperoleh hak atas tanah karena daluwarsa. Seseorang yang hendak memperoleh hak karena daluwarsa harus menguasai tanah tersebut secara terus menerus dan tanpa gangguan, gugatan atau tuntutan hukum apapun selama 30 tahun.
Tanah yang dapat dimintakan haknya karena daluwarsa adalah tanah Negara atau tanah hak yang telah dilepaskan haknya.
Setelah lewatnya waktu daluwarsa, pihak yang hendak memperoleh hak tersebut harus mengajukan permohonan hak kepada Kepala Kantor Pertanahan Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Pertanahan wilayah yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.